Hubungan Kelembagaan dengan Biaya Transaksi dan Informasi Sebuah institusi muncul dan berkembang untuk meminimumkan biaya transaksi sehingga dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Biaya transaksi tersebut antara lain berwujud biaya atas informasi, negosiasi, pengawasan, koordinasi dan pelaksanaan kontrak. Jika biaya transaksi berada pada tingkat minimal, hak kepemilikan (property rights) tidak menjadi bagian penting dalam konsep umum efisiensi, karena hak kepemilikan dapat disesuaikan dan diubah secara sukarela guna mendorong kenaikkan proses produksi.
Menurut North dan Wallis (1994) dalam Yustika (2008), dalam kerangka relasi antara perubahan teknis dan kelembagaan, maka biaya transaksi adalah ongkos untuk lahan, tenaga kerja, kapital dan keterampilan kewirausahaan yang diperlukan untuk mentransfer hak – hak kepemilikan (property rights) dari satu atau kelompok orang ke pihak yang lain. Biaya transaksi muncul karena adanya transfer kepemilikan atau hak – hak kepemilikan. Jika diperluas dengan memasukkan biaya perlindungan terhadap hak – hak kepemilikan, maka Mburu dan Birner menganggap biaya transaksi sebagai ongkos yang muncul dari penciptaan dan implementasi kesepakatan kelembagaan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan biaya transaksi adalah biaya atas lahan, tenaga kerja, kapital dan keterampilan kewirausahaan yang diperlukan untuk memindahkan (transfer) fisik menjadi output (Mburu, 2002 dalam Yustika, 2008).
Menurut North (1990) dalam Yustika (2008), asumsi adanya informasi sempurna dan pertukaran tanpa biaya yang dibuat oleh model pasar persaingan sempurna tidaklah tepat. North melihat adanya biaya transaksi dalam pertukaran akibat adanya informasi yang tidak sempurna. North menyatakan bahwa biaya mencari informasi merupakan kunci dari biaya transaksi yang terdiri dari biaya untuk mengerjakan pengukuran kelengkapan – kelengkapan yang dipertukarkan dan ongkos – ongkos untuk melindungi hak kepemilikan dan mengakkan kesepakatan.
Besaran biaya transaksi juga bisa terjadi karena adanya penyimpangan dalam wujud:
- Penyimpangan atas lemahnya jaminan hak kepemilikan.
- Penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam.
- Penyimpangan intertemporal, yang dapat berbentu kontrak yang timpang, responsivitas waktu yang nyata, ketersembunyian informasi yang panjang dan penyalahgunaan strategis.
- Penyimpangan yang muncul karena kelemahan dalam kebijakan kelembagaan yang berhubungan dengan pembangunan dan reformasi ekonomi.
- Kelemahan integritas yang dirujuk oleh James Wilson (1989) sebagai sovereign transactions. Jadi akar dari permasalahan ini adalah informasi yang kurang sempurna.
Williamson (1981) dalam Yustika (2008) mengompilasi tiga sifat utama dari transaksi, yaitu:
- Derajat ketidakpastian inklusif dalam setiap transaksi. Misalnya, produksi pertanian berisiko karena variabilitas iklim, masalah – masalah penyakit dan hama. Pemasaran hasil tanaman menghadapi ketidakpastian karen fluktuasi harga yang disebabkan oleh perubahan penawaran (supply) dan permintaan (demand), baik untuk tanaman pengganti dan tanaman pelengkap.
- Frekuensi transaksi. Transaksi pertanian cenderung bersifat musiman. Jumlah penjualan produksi yang dilakukan oleh pemilik lahan kecil dalam suatu musim akan tergantung pada kapasitas penyimpanan dalam pertanian. Pedagang yang bersepakat dengan hasil tanaman yang sejenis di daerah yang sama, akan banyak melakukan pembelian pada musim yang sama. Tentu saja hal ini berpotensi memudahkan untuk menanggung biaya arbitrase apabila terdapat kasus perselisihan ketika terjadi transaksi dalam jumlah besar dan tidak sering (infrequent), sehingga diantara pihak – pihak yang bertransaksi juga akan berupaya membangun informasi untuk kepentingan semua pihak.
- Sejauh mana aspek ini melibatkan satu atau kedua pihak yang melakukan kontrak dalam investasi aset – aset spesifik. Aset spesifik adalah aset manusia dan fisik dimana investasi tidak dapat digunakan selain seperti yang direncanakan sejak awal.
Terdapat empat determinan penting dari biaya transaksi sebagai unit analisis:
- Apa yang disebut sebagai atribut perilaku yang melekat pada setiap pelaku ekonomi (behavioral attributes of actors) yaitu rasionalitas terbatas/terikat (bounded rationality) dan oportunisme (opportunism).
- Sifat yang berkenaan dengan atribut dari transaksi (attributes of the transaction) yaitu spesifisitas aset (asset specificity), ketidakpastian (uncertainty) dan frekuensi (frequency).
- Hal – hal yang berkaitan dengan struktur tata kelola kegiatan ekonomi (governance structures) yaitu pasar (market), hybrid, birokrasi publik (public bureaucracy).
- Faktor yang berdekatan dengan aspek lingkungan kelembagaan (institutional environment) yaitu hukum kepemilikan, kontrak dan budaya.
Dalam praktiknya, keempat determinan tersebut bisa diturunkan menjadi variabel – variabel yang dapat menuntun setiap peneliti untuk melakukan pengukuran (measurement). Menurut Collins dan Fabozzi (1991) dalam Yustika (2008), formulasi biaya transaksi adalah: Biaya transaksi = biaya tetap + biaya variabel Pada level mikro, Strassmann (2002) mengklasifikasikan biaya transaksi dalam variabel – variabel berikut:
- Organisasi tenaga kerja dan pengguna (organization of employees and users).
- Mengolah informasi (information processing).
- Koordinasi pemasok, biaya – biaya akuisisi (coordination of suppliers, costs of acquisition).
- Memotivasi pelanggan (motivating customers).
- Mengelola distributor (managing distributors).
- Memuaskan pemegang saham dan peminjam (satisfying shareholders and lenders)
- Fee, komisi, cukai dan pajak (fees, comissions, tolls and taxes).
- Penelitian dan pengembangan (research and development).
- Biaya – biaya penjualan, umum dan administratif (sales, general and administrative costs) terdiri dari biaya pemasaran (marketing), penjual (sales people), manajemen (management), iklan (advertising), pelatihan (training) dan biaya – biaya teknologi informasi (information technology costs).
Secara konseptual, antara teori informasi tidak sempurna dan teori biaya transaksi sebenarnya dapat dikaitkan antara yang satu dengan yang lain, karenabiaya atas informasi (information costs) merupakan bagian yang penting dari biaya transaksi itu sendiri. Konsep teori informasi tidak sempurna ini seringkali diterapkan dalam berbagai model utama institusi di negara – negara agraris seperti Indonesia, yang dapat dicermati dari adanya masalah – masalah seperti penyalahgunaan kredit pertanian, perilaku moral hazard dan adanya informasi yang asimetris. Adanya keterbatasan kapasitas dalam proses penyebaran informasi ternyata sangat menentukan besarnya biaya transaksi di dalam pembentukan sebuah institusi.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Hubungan Kelembagaan dengan Biaya Transaksi dan Informas"
Posting Komentar