Utang Pajak
Rochmat Sumitro[1] menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah perikatan (verbintenis). Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum adat.
Utang Pajak menurut faham formal timbul karena perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan SKP. Secara ekstrim, seseorang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP. Sedangkan menurut faham materiil utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang disyaratkan dalam undang-undang. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang-Undang atau karena tatbestand, yaitu ‘rangkaian dari keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa (baik yang feitelijk, yuridis, persoonlijk maupun zakelijk) yang dapat menimbulkan utang pajak.
Pada lain pihak teori pemungutan pajak yang lazim dikenal saat ini antara lain adalah[2]: :
Teori Asuransi, menurut teori ini warga negara yang mendapat perlindungan negara membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan perlindungan tersebut.
Teori Kepentingan, dalam teori ini pembagian beban pajak proporsional dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara
Teori daya pikul, menurut teori ini beban pajak disesuaikan dengan daya pikul masing-masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya kebutuhan materi yang harus dipenuhi.
Teori bakti, menurut teori ini sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban
Teori asas daya beli, teori ini menyatakan, bahwa negara mengurangi atau menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara yang selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.
Soemitro menyatakan bahwa pajak ditinjau dari segi hukum memberikan hasil yang lain. Tinjauan pajak dari segi hukum, lebih menitik beratkan kepada perikatan (verbintenis), pada hak dan kewajiban Wajib pajak, Subyek Pajak dalam hubungannya dengan Subyek Hukum. Hak penguasa untuk mengenakan pajak, penagihan pajak dengan paksa, sanksi administrasi, maupun sanksi pidana, penyidikan, dan pembukuan. Soemitro mengatakan pajak dilihat dari segi hokum dapat didefinisikan sebagai berikut :Perikatan yang timbul karena Undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam Undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.[3]
Dari pandangan itu dapat dilihat bahwa pajak merupakan sebuah perikatan. Namun perikatan dalam pajak berbeda dengan perikatan perdata pada umumnya, karena beberapa hal, yakni :
a. Perikatan perdata dapat lahir karena perjanjian dan dapat pula lahir karena Undang-undang., sedangkan perikatan pajak hanya lahir karena Undang-undang, dan tidak lahir karena perjanjian.
b. Perikatan perdata berada dalam lapangan hukum privat sementara perikatan pajak berada dalam hokum public.
c. Dalam perikatan perdata, hubungan hukum terjadi diantara para pihak yang mempunyai kedudukan yang sama/sederajat, sementara di dalam perikatan pajak, kedudukan para pihaknya tidak sederajat.[4]
d. Prestasi yang dilakukan oleh Subjek Pajak untuk membayar pajak itu tidak mendapat imbalan langsung yang dapat ditunjukan. Hal tersebut membedakannya dengan retribusi.[5]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian utang pajak"
Posting Komentar