Prinsip Penyusunan APBN
a. Prinsip Penyusunan APBN Berdasarkan Aspek Pendapatan
- Intensifikasi penerimaan anggaran dalam hal jumlah dan kecepatan penyetoran.
- Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara, misalnya sewa atas penggunaan barang-barang milik negara.
- Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dari denda yang telah dijanjikan.
b. Prinsip Penyusunan APBN Berdasarkan Aspek Pengeluaran Negara
- Hemat, tidak mewah, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan
- Terarah, terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan.
- Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan/potensi nasional.
Cara Penyusunan APBN
Anggaran negara pada suatu tahun secara sederhana bisa dibaratkan dengan anggaran rumah tangga ataupun anggaran perusahaan yang memiliki dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran.
Dalam menyusun anggaran, penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dihadapkan dengan berbagai ketidak pastian. Setidaknya terdapat enam sumber ketidakpastian yang berpengaruh besar dalam penentuan volume APBN yakni (i) harga minyak bumi di pasar internasional; (ii) kuota produksi minyak mentah yang ditentukan OPEC; (iii) pertumbuhan ekonomi; (iv) inflasi; (v) suku bunga; dan (vi) nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD).
Penetapan angka-angka keenam unsur diatas memegang peranan yang sangat penting dalam penyusunan APBN. Hasil penetapannya disebut sebagai asum-asumsi dasar penyusunan RAPBN. Penetapan angka asumsi ini dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari wakil-wakil dari Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, dan Badan Pusat Statistik, yang bersidang secara rutin untuk membahas dan menentukan angka asumsi. Angka-angka asumsi yang dihasilkan oleh tim ini selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menyusun RAPBN. Perlu diketahui bahwa angka-angka yang tertera ini masih berupa usulan dari pihak eksekutif (pemerintah) kepada pihak legislatif (DPR).
Selanjutnya RAPBN ini disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam suatu sidang paripurna yang merupakan awal dari proses pembahasan RAPBN antara pemerintah dan DPR. Tentunya perubahan terhadap angka asumsi RAPBN sangat mungkin terjadi selama berlangsungnya proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Perubahan ini mencerminkan banyak hal diantaranya (i) Pemerintah dan DPR bertanggungjawab terhadap keputusan penetapan angka-angka asumsi dalam APBN; (ii) angka asumsi ditetapkan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politik; dan (iii) terjadi pergeseran secara riil status APBN, dari “milik pemerintah” menjadi “milik publik”.
Sesudah RAPBN disetujui oleh DPR, RAPBN kemudian ditetapkan menjadi APBN melalui Undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Agar pelaksanaa APBN sesuai dengan rencana, maka dikeluarkan Keputusan Presiden tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Artikel keren lainnya:
Terima kasih
BalasHapus